Kamis, 19 Juni 2014

MANUSIA


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Hindu Mānawa dharmaśāstra istilah manusia/manusya secara etimologis berasal dari bahasa sansekerta yakni kata Manu (berarti pikiran) dan sya (bentuk negatif yang menyatakan arti: milik atau sifat yang dimiliki kata benda yang dilekatinya). Dalam Agama Hindu, manusia memiliki Tri Premana yang terdiri dari bayu, sabda, dan idep. Tumbuhan hanya memiliki Eka Premana yaitu bayu sedangkan hewan atau binatang memiliki Dwi Premana yang terdiri atas bayu dan sabda. Dibandingkan dengan tumbuhan dan hewan, manusia dipandang memiliki kelebihan karena memiliki idep. Kelebihan inilah yang mengakibatkan manusia memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding mahluk lain, dengan adanya pikiran manusia mampu membedakan baik dan buruk.
Realitas manusia sebagai pribadi yang memiliki badan jasmani dan jiwa telah membuka beberapa pemikiran dalam pandangan filsafat manusia (kaum carwaka di India), menganggap badan jasmani lebih bernilai (penting) dari pada jiwa. Sebaliknya pandangan spiritualisme beranggapan bahwa jiwa jauh lebih bernilai (penting) dibandingkan dengan jasmani.
1.2  Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas adapun rumusan masalah yang dapat kami ajukan sebagai berikut:
1.      Apakah yang dimaksud dengan manusia?
2.      Bagaimana hakekat manusia Hindu ?
3.      Apa martabat manusia Hindu?
4.      Bagaimana tanggung jawab manusia Hindu?
5.      Apakah yang dimaksud dengan Orang suci dan Avatāra?
6.      Bagaimana implementasi manusia dalam kehidupan sehari-hari?
1.3  Tujuan
Dari rumusan masalah di atas dapat kami ajukan tujuan sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan manusia.
2.      Untuk mengetahui bagaimana hakekat manusia Hindu.
3.      Untuk mengetahui apa martabat manusia Hindu.
4.      Untuk mengetahui bagaimana tanggung jawab manusia Hindu.
5.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Orang suci dan Avatāra.
6.      Untuk mengetahui implementasi manusia dalam kehidupan sehari-hari.

1.4  Manfaat
Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagi Penulis
            Pembuatan makalah ini telah memberikan berbagai pengalaman bagi penulis seperti pengalaman dalam memuja Ida Sang Hyang widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Disamping itu, penulis juga mendapat ilmu untuk memahami dan menganalisis materi yang ditulis dalam makalah ini.
2.      Bagi Pembaca
            Sebagai pedoman bagi mahasiswa khususnya calon tenaga pendidikan untuk memahami materi tentang manusia. Sebagai masukan bagi tenaga pendidik mengenai materi tentang manusia agar tidak terjadi kesalahan dalam pendidikan.







BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Konsepsi Manusia Hindu
Hindu Mānawa dharmaśāstra istilah manusia/manusya secara etimologis berasal dari bahasa sansekerta yakni kata Manu (berarti pikiran) dan sya (bentuk negative yang menyatakan arti: milik atau sifat yang dimiliki kata benda yang dilekatinya) dengan demikian secara hafiah kata manusia/manusya berarti ia yang memiliki pikiran atau ia yang senantiasa berfikir dan menggunakan akal pikirannya. Menurut Ludwig Wittgenstein dalam bukunya Gallagher (dalam Wirawan, 2007:40) menyatakana, bahwa kata/bahasa adalah logika, sehingga secara konsepsional dapat kita pahami bahwa dalam kata manu dan manusia tersebut pada dasarnya telah terumuskan tentang makna hakiki dari jenis mahluk hidup yang bernama manusia sebagai subjek pengada yang berkesadaran, karena itu kepastian pertama dari eksistensi manusia menurut Rene Descartes adalah “Cogito, ergo sum”: (Saya berfikir, maka saya ada) dan selanjutnya dinyatakan dengan “Cogito Ergo sum cogitan” yang maksudnya, Saya berpikir, maka saya adalah pengada yang bepikir, yaitu eksistansi dari budi, sebuah subtansi sadar.
Dalam kitab Veda disebutkan (dan selanjutnya dijelaskan dalam kitab upanisad), bahwa manusia pertama dalam konsepsi Hindu adalam Manu atau Swayambu-Manu (Mahluk berpikir yang menjadikan dirinya sendiri). Dari konsepsi (lingual dan filosofis) ini maka dalam sistem kondifikasi Veda kita mengenal Manu sebagai maharsi pertama yang menuliskan (sabda suci/wahyu yang diterima) tentang hukum Hindu (dharma) berdasarkan ingatan pikirannya sebagai kitab hukum tersebut dikenal dengan nama Manusmerti  atau Manawadharmasastra (kitab umum Hindu dari Manu).
Dari konsep-konsep ini dapat dipahami bahwa secara dasar manusia mahluk rasional karena berpikir dengan akal (budhi) pikirannya. Akal budi-pikiran yang dimilikinya itu merupakan dasar yang penting dalam pengembangan Wiweka yakni kemampuan akal-pikiran rasional untuk mempertimbangkan sesuatu secara arif. Karena itu secara konseptual manusia Hindu adalah manusia yang mampu mengembangkan dan mengedepankan daya berpikir dan pikiran rasional (manah) untuk menjadikan dirinya sendiri sebagai manusia swayambu-manu) dalam tatanan hidup dan kehidupan ini.
2.2  Hakekat Manusia Hindu
Realitas manusia sebagai pribadi yang memiliki badan jasmani dan jiwa telah membuka beberapa pemikiran dalam pandangan filsafat manusia (kaum carwaka di India), menganggap badan jasmani lebih bernilai (penting) dari pada jiwa. Sebaliknya pandangan spiritualisme beranggapan bahwa jiwa jauh lebih bernilai (penting) dibandingkan badan jasmani.
Akan tetapi dalam pandangan Veda (Hindu), baik badan jasmani maupun jiwa memiliki hakikat yang sama pentingnya; jiwa-atma dapat menjadi dasar dalam pemahaman badan jasmani (wadag) atau dapat juga sebaliknya. Ajaran Samkhya Darsana sebagai salah satu cabang filsafat Veda yang bersifat dualistik-analisis rupanya dapat membantu menjelaskan hakikat badan jiwa atau purusa-prakerti (pradhana) atau cetana-acetana yang selanjutnya menjadi pokok kajian bagi bidang Mayatatawa dan purusatatwa. menurut pandangan Shamkya, mahluk hidup dalam hal ini adalah manusia pada dasarnya terbentuk dan tersusun atas 25 tatwa (unsur), yakni:
1.      Purusa                         : Unsur, rohani, spiritual, jiwa-atma.
2.      Prakrti                         : Unsur badani, matri, material, jasmaniah.
3.      Buddhi                                    : Kesadaran, kecerdasan, intelektual.
4.      Ahamkara                    : Ego, rasa aku (keakuan).
5.      Manah                         : Pikiran, rasio.
Panca buddhi indriya (lima indria untuk mengetahui).
6.      Cakswindriya              : Indria pada mata.
7.      Srotendriya                 : Indria pada telinga.
8.      Granendriya                : Indria pada hidung.
9.      Jihvendriya                  : Indria pada lidah.
10.  Twakindriya                : Indria pada kulit.
Panca karmendriya (lima indria pelaku/penggerak).
11.  Panindriya                   : Indria pada tangan.
12.  Padendriya                  : Indria pada kaki.
13.  Vakindriya                  : Indria pada mulut.
14.  Abastendrya/Bhagendriya: Indria pada kelamin pria/wanita.
15.  Paiwindriya                 : Indria pada pelepasan (anus).
Panca tan mantra (lima macam sari, benih, tak terukur).
16.  Sabda yan matra         : Benih suara.
17.  Starsa tan matra          : Benih raba.
18.  Rupa tan matra            : Benih warna.
19.  Rasa tan matra                        : Benih rasa.
20.  Gandha tan matra       : Benih bau/penciuman.
Panca Maha Bhuta (lima unsur besar)
21.  Akasa                          : Eter, ruang.
22.  Wahyu                         : Udara, hawa, atmosfer.
23.  Teja                             : Api.
24.  Apah                           : Air.
25.  Pertiwi                         : Tanah.
Badan jasmani akan mati tetapi jiwa hidup terus. Matinya fisik bukan akhir sebuah kehidupan. Antara roh dan kehidupan harus seimbang, semasih fisik itu dijiwai oleh roh. Untuk menyeimbangkan diperlukan sebuah penetralisir. Jasmani harus dijaga secara terus menerus agar selalu dalam keadaan sehat, maka perlu dilakukan pengobatan baik melalui biomedis maupun biokultural, sehingga keadaan jasmani tetap seimbang dengan rohani sampai menjelang jasmani ini ditinggalkan oleh penghuninya.
2.3  Martabat Manusia Hindu
Pemahaman akan tingginya martabat manusia itu bagi manusia modern tercermin dalam berbagai aspek seperti: 1). Tingkat pendidikan dan wawasan pengetahuan yang dimiliki, 2). Profesi atau bidang pekerjaan dan tingkat social ekonomi, 3). Peran dan kedudukan dalam hidup social-kemasyarakatan-kemanusiaannya, 4). Keimanan dan ketakwaan serta hidup berkeanekaragaman.
Berdasarkan panduan Veda secara awam dikemukakan disini beberapa aspek yang langsung dan tidak langsung dianggap mengindikasikan dan mempresentasikan tentang rumusan hakekat-martabat manusia Hindu: 1). Jati (kelahiran), 2). Dharma (kewajiban hidup, kebenaran, serta kedudukan dan peran social kemasyarakatan-keagamaan), 3). Warna/kasta (profesi bidang pekerja), 4). Karma (secara luas meliputi Manacika, dan Wacika, Kayika), 5). Guna (Sattwam, Rajas, dan Tamas), 6). Tingkat kebrahmacarian dan wawasan pengetahuan (Vedājńa, Vedapraṅga, Śāstrājńa, dan Gunawan), 7). Tingkat keimanan dan kerohanian  (Śrādham dan Satyam). Mahāṛsī Katilya menyatakan “Apa yang gunanya terlahir dikalangan keluarga terhormat tetapi tidak memiliki pengetahuan suci. Walaupun seorang lahir dari keluarga rendah, tetapi ia terpelajar, memiliki pengetahuan suci, dan bijaksana patutlah dia dihormati seperti Devā.
2.4  Tanggung Jawab Manusia Hindu
Setiap individu manusia Hindu dapat dilihat secara vertikal (dalam hubungan dengan Brahman Sang Pencipta Alam Semesta) dan Horizontal (dalam hubungan hidup sesama insan). Yang dirumuskan dalam Tattvam asi. Pelaksanan kedua bentuk tanggung jawab manusia Hindu di Bali dijabarkan dalam konsep Tri Hita Karana.
Secara Vertikal terkait dengan Prahyangan, dan secara Horizontal manusia Hindu telah dijabarkan dalam bentuk Pawongan dan Palemahan, rumusan ini sejalan dengan pandangan Bakker (dalam Wirawan, 2007:44) yang mengatakan “Man humanizes him self in humanizing the world around him”, yang artinya manusia akan memanusiakan drinya sendiri dalam arti akan meningkatkan kemanusiaannya disekelilinggnya. Dalam pandangan Weda manusia tidak saja memiki tanggung jawab memanusiakan manusia tetapi yang lebih penting adalah “mengentaskan” (melakukan somya) sarwa bhūta yang ada di sekelilingnya dalam kehidupan yang lebih tinggi, seperti yang dilakukan dalam Tawur Agung Kesaṅga dengan Hari Raya Nyepi.
2.5  Orang Suci dan Avatāra
Orang suci dalam pandanngan Hindu adalah sangat terhormat, karena melalui orang suci ajaran Agama dapat diterima oleh masyarakat, disamping itu tuntutan dan bimbingan kerohanian banyak diajarkan oleh orang-orang suci. Seperti Ṛsī Agastya penyebar Agama Hindu ke Indonesia, Sapta Ṛsīpenerima Wahyu, Mpu Kuturan Asitektur Desa Pekraman, Danghyang Nirartha sebagai konseptor padmāsana, dan sebagai penghormatan beliau dibangunlah Pura yang Berstatus Dang Kahyangan sebagai penghormatan. Dan Avatāra adalah perwujudan dari Hyang Widhi (Tuhan) yang turun kedunia dalam mengambil bentuk-bentuk tertentu guna menyelamatkan dunia dengan segala isi dari kehancuran yang disebabkan oleh adharma.
Gelar Orang-orang Suci adalah:
1.      Pedanda adalah Gelar Orang Suci dari Brāhman wangsa, beliau berhasil memimpin dalam bidang upacara keagamaan.
2.      Danghyang adalah Brāhman wangsa yang berjasa dalam menumbuh-kembangkan agama sekaligus menjadi guru besar dibidang keagamaan.
3.      Ṛsī atau Bhagavān adalah gelar orang suci dari wangsa ksatriya beliau dipandang suci dan terhormat dalam masyarakat.
4.      Empu adalah gelar orang suci dari wangsa pasek pande, beliau juga sangat dihormati dalam masyarakat.
5.      Sengguhu adalah orang suci yang ahli dalam tugas untuk memimpin upacara Bhūta Yaj a.
6.      Dukuh adalah orang suci yang kedudukan beliau dipandang dan dihormati di masyarakat.
Daśa Avatāra:
1.      Masya Avatāra adalah perwujudan Tuhan turun ke dunia sebagai ikan yang besar untuk menyelamatkan manusia pertama dari air bah yang melanda manusia dan alam semesta.
2.      Kūrma Avatāra adalah perwujudan Tuhan turun ke dunia sebagai kura-kura besar, untuk menjaga dunia dari luapan kesirarnawa pada saat diaduk oleh para Devā dan rāksasa.
3.      Varāha Avatāra adalah perwujudan Tuhan turun ke dunia sebagai Babi Hutan, guna menyelamatkan dunia dan mengangkat kembali dunia keasalnya setelah disembunyikan di patala loka.
4.      Nārasiṁha Avatāra adalah perwujudan Tuhan turun ke dunia sebagai Manusia Berkepala Singa untuk membunuh Rāksasa Hiranyakasipu yang dengan lalimnya ingin menguasai Sorga.
5.      Vāmana Avatāra adalah perwujudan Tuhan turun ke dunia sebagai Manusia Cebol untuk membunuh Rāksasa Bali yang dengan kelalimannya ingin menguasai Triloka.
6.      Paraśurāma Avatāra adalah perwujudan Tuhan turun kedunia sebagai Manusia Bersenjata Kapak. Untuk membalas dendam atas penghinaan seorang kesatrya terhadap Brāhṁana.
7.      Rāmadeva Avatāra adalah perwujudan Tuhan turun ke dunia sebagai Rama untuk menyelamatkan manusia dari keangkaramurkaan dan kecongkakan Rahwana.
8.      Kṛṣṇa Avatāra adalah perwujudan Tuhan turun ke dunia sebagai  Krishna, untuk membela kebenaran di pihak Pandawa dan menumpas habis Kaurawa.
9.      Budha Avatāra adalah perwujudan Tuhan turun kedunia untuk meluruskan kembali ajaran agama yang telah menyimpang dari kebenaran.
10.  Kalki Avatāra adalah perwujudan Tuhan turun ke dunia sebagai manusia sempurna dengan mengendarai kuda putih dengan bersenjata pedang terhunus, untuk menyelamatkan dunia dari kejahatan.
2.6  Implementasi dalam Kehidupan Sehari-Hari
Penerapan Tri Hita Karana Melalui Panca Yadnya Pada Umat Hindu di Bali
Salah satu kearifan lokal masyarakat bali dalam pengelolaan lingkungan hidup, yakni tri hita karana. Istilah Tri Hita Karana pertama kali muncul pada tanggal 11 Nopember 1966, pada saat diselenggarakan Konferensi Daerah 1 Badan Perjuangan Umat Hindu Bali bertempat di Perguruan Dwijemdra Dempasar.  Kearifan lokal ini telah lama menjadi landasan filosifis dalam masyarakat bali yang berlandaskan budaya dan dijiwai agama hindu. Secara terminologis, Tri Hita Karana berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari kata tri,hita, dan karana. Tri artinya tiga, Hita artinya sejahtera atau kebahagiaan, dan karana berarti penyebab. Bilamana dirangkaikan maka ketiga kata tersebut menjadi tiga hal yang menyebabkan sejahtera. Pada dasarnya hakikat ajaran tri hita karana menekankan tiga hubungan manusia dalam kehidupan di dunia ini. Ketiga hal yang dimaksudkan yang tertuang dalam Tri Hita Karana yaitu,
1.      Parahyangan
Parahyangan berarti hubungan manusia dengan tuhan yang maha esa yang dapat diwujudkan dalam bentuk sujud bhakti kehadapan sang hyang widhi wasa
2.      Pawongan
Pawongan adalah hubungan manusia dengan sesama manusia yang dapat diimplementasikan dalam bentuk membangun keharmonisan dalam bermasyarakat
3.      Palemahan
Palemahan adalah hubungan manusia dengan lingkungannya, hal ini diwujudkan dalam bentuk mengadakan pelestarian lingkungan.
Ketiga bagian dari Tri Hita Karana diatas terinspirasi dari Bhagawadgita (III.10), yaitu:
“Sahayajnah prajah sristwa,
Pura waca prajahpatih
Anena prasawisya dhiwam,
 Esa wo’stiwista kamadhuk”
Artinya:
“Pada jaman dahulu Prajapati menciptakan manusia dengan yajna dan bersabda: dengan ini engkau akan berkembang dan menjadi kamadhuk dari keinginanmu.”
            Sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan yang pada sloka diatas disebutkan sebagai Prajapati sudah sepantasnya kita berterima kasih pada Beliau, karena Beliau pun menciptakan kita dengan yadnya dan dengan yadnya juga kita sebagai manusia atau dalam sloka diatas disebutkan sebagai Praja akan mencapai kebaikan yang maha tinggi. dengan Tuhan (Prajapati) telah beryadnya menciptakan alam semesta dengan segala isinya. Karena manusia (Praja) hendaknya beryadnya kepada Tuhan (Prajapati), kepada sesama manusia (Praja) dan kepada lingkungannya (Kamadhuk). walapun tidak tersurat kata Tri Hita Karana secara langsung, namun dalam sloka Bhagawadgita (III.10) mewakili isi dari Tri Hita Karana.
            Panca Yadnya terdiri Atas dua kata, yaitu: “Panca” artinya lima dan “Yadnya” artinya korban suci atau persembahan suci. Sehingga Panca Yadnya dapat diartikan lima jenis korban suci yang dipersembahkan secara tulus ikhlas. Masyarakat bali dalam kehidupan sehari-hari tidak terlepas oleh kegiatan beryadnya diawali ketika manusia bangun di pagi hari hingga diakhiri tidur di malam hari semua diawali oleh yadnya dan diakhir juga oleh yadnya. Manusia Hindu sebagai pelaksana yadnya yang utama wajib melaksanakan yadnya dalam kehidupan sehari-hari. Yadnya yang dipersembahkan bukan semata-mata hanya dalam bentuk menghaturkan banten maupun segehan kepada Tuhan Yang Maha Esa, namun tindakan serta kegiatan yang dilakukan demi kesejahteraan bersama baik kesejahteraan sesama manusia dan kesejahteraan lingkungan juga dapat dikategorikan sebagai yadnya. Panca yadnya terdiri dari 5 bagian yaitu
1.      Dewa yadnya
2.      Rsi yadnya
3.      Pitra yadnya
4.      Manusa Yadnya
5.      Bhuta yadnya
            Parahyangan berasal dari kata hyang yang berarti Tuhan. Parhayangan dapat diartikan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan keagamaan yang bertujuan untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi wasa. Dalam kehidupan sehari-hari  umat hindu mengimplementasikan pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa melalui Dewa Yadnya dengan jalan menghaturkan persembahan baik berupa upakara kepada manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam wujud dewa dan  dewi. Upacara dewa yadnya umumnya dilaksanakan di sanggah-sanggah, pamerajan, pura, kayangan dan tempat suci lainnya yang setingkat dengan itu. Upacara dewa yadnya ada yang dilakukan setiap hari dan ada juga yang dilakukan secara periodik atau berkala. Contoh dari upacara dewa yadnya yang dilakukan setiap hari adalah puja tri sandya dan yadnya cesa.
Disamping itu rasa bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa itu timbul dalam hati manusia berupa sembah, puji-pujian, doa penyerahan diri, rasa rendah hati dan rasa berkorban untuk kebajikan. Kita sebagai umat manusia yang beragama dan bersusila harus menjunjung dan memenuhi kewajiban, antara lain cinta kepada kebenaran, kejujuran, keikhlasan, dan keadilan.
Hubungan ini harus dipupuk dan ditingkatkan terus kearah yang lebih tinggi dan lebih suci lahir bhatin. Sesuai dengan swadharmaning umat yang religius, yaitu untuk dapat mencapai moksartam jagad hita ya ca itri dharma, yakni kebahagiaan hidup duniawi dan kesempurnaan kebahagian rohani yang langgeng (moksa).
            Pawongan berasal dari kata wong yang berarti manusia. Pawongan berarti seluruh kegiatan yang berhubungan dengan hal-hal kemanusiaan. Dalam kehidupan sehari-hari pengaplikasian pawongan dapat dilakukan melalui kegiatan manusa yadnya, rsi yadnya, dan pitra yadnya.
 Manusia yadnya dalam kehidupan bermasyarakat dapat ditunjukan dengan membina hubungan baik sesama manusia. Selain tindakan tersebut umat hindu di Bali dalam melaksanakan kegiatan manusia yadnya juga mengenal istilah Upacara Nyambutin guna menyambut bayi yang baru lahir. Setelah upacara nyambutin maka dilanjutkan dengan upacara nelubulanin untuk bayi atau anak yang baru berumur 3 bulan atau kira-kira berumur 105 hari. Selain upacara diatas uamt hindu dibali juga mengenal upacara otonan yang dilaksanakan setiap 6 bulan sekali. Otonan diperingati setiap 6 bulan dengan mengingat jatuhnya hari lahir anak pada wuku serta saptawara dari kelahiran anak tersebut. lalu ketika berumur 17 tahun dilaksanakan Upacara Menek Kelih atau sering juga dikenal sebagai Upacara Raja Singa. Upacara ini dilaksanakan ketika seorang anak beranjak menuju masa remaja. Pada umumnya setelah dilaksanakan Upacara Menek kelih, maka nantinya akan dilanjutkan dengan Upacara Mesangih. Mesangih dilakukan ketika seorang remaja akan beranjak dewasa yang bertujuan untuk menetralisir sad ripu yang ada dalam diri seorang individu yaitu dilakukan dengan cara mengasah  gigi seri.
Pitra Yadnya adalah korban suci yang dilakukan oleh umat hindu dengan cara melakukan sujud bakti kepada orang tua beserta leluhur. Selain itu, Pitra Yadnya juga dilaksanakan dengan cara melakukan penyucian dan meralina serta penghormatan terhadap orang yang telah meninggal. Menurut ajaran Agama Hindu, meralina adalah merubah suatu wujud demikian rupa sehingga unsur-unsurnya kembali kepada asal semula.  Yang dimaksud dengan asal semula adalah asal manusia dari unsur pokok alam yaitu Panca Maha Bhuta yang terdiri dari air, api, tanah, angin dan akasa. Sebagai sarana penyucian digunakan air dan tirtha sedangkan untuk pralina digunakan api pralina.
Palemahan artinya hubungan manusia dengan lingkungannya, hal ini diwujudkan dalam bentuk mengadakan pelestarian lingkungan. Dalam ajaran agama Hindu selalu diajarkan tentang Panca Yadnya yaitu Bhuta Yadnya. Kata Bhuta artinya unsur-unsur alam, sedangkan Yadnya artinya upacara persembahan suci yang tulus ikhlas. Bhuta Yadnya adalah upacara pemujaan serta persembahan suci yang tulus ikhlas ditujukan kehadapan Bhuta Kala. Bhuta Kala adalah ciptaan dari pada Tuhan Yang Maha Esa yang wujudnya hanya bisa dilihat oleh orang-orang tertentu. Salah satu dari upacara Bhuta Yadnya adalah Upacara Tawur ke Sanga (Sembilan) menjelang Hari Raya Nyepi (Tahun Baru / Çaka / Kalender Bali) atau istilah balinya disebut “Mecaru”. Upacara Tawur ke Sanga (Sembilan) adalah upacara suci yang merupakan persembahan suci yang tulus ikhlas kepada Bhuta-Kala agar terjalin hubungan yang harmonis dan bisa memberikan kekuatan kepada manusia dalam kehidupan. Sehingga dalam hal ini palemahan sangat berhubungan dengan Bhuta Yadnya.










DOA PENUTUP

Om Mantrahinam kryahinam, bhakti-hinam parameswara tad pujitam mahadewa, paripurna tad astu me,
Om dirghayur nirwighnam sukkha wrdhi nugrahakam

Arti:
Oh Hyang Widhi doa kami kurang, perbuatan kami tiada sempurna bhakti hamba juga tiada sempurna, maka itu kami memuja Mu Iswara yang agung, semoga dapat menganugrahkan kesempurnaan/kemampuan melakukan kewajiban.
Om Hyang Widhi semoga kami senantiasa sukses tanpa halangan dan memperoleh kebahagiaan.











BAB III
PENUTUP
3.1  Simpulan
Dari uraian data di atas kami dapat simpulkan bahwasannya:
1.      Manusia/manusya berarti ia yang memiliki pikiran  atau ia yang senantiasa berfikir dan menggunakan akal pikirannya.
2.      Reallitas manusia sebagai pribadi yang memiliki bada jasmani dan jiwa telah membuka beberapa pemikiran dalam pandangan filsafat manusia (kaum carwaka di India), menganggap badan jasmani lebih bernilai (penting) dari pada jiwa.
3.      Pemahaman akan tingginya martabat manusia itu bagi manusia modern tercermin dalam berbagai aspek seperti: Tingkat pendidikan dan wawasan pngetahuan yang dimiliki, profesi atau bidang pekerjaan dan tingkat social ekonomi, peran dan kedudukan dalam hidup social-kemasyarakatan-kemanusiaannya, keimanan dan ketakwaan serta hidup berkeanekaragaman.
4.      Setiap individu manusia Hindu dapat dilihat secara vertical (dalam hubungan dengan Brahman Sang Pencipta Alam Semesta) dan Horizontal (dalam hubungan hidup sesame insan).
5.      Avatāra adalah perwujudan dari Hyang Widhi (Tuhan) yang turun kedunia dalam mengambil bentuk-bentuk tertentu guna menyelamatkan dunia dengan segala isi dari kehancuran yang disebabkan oleh adharma.
6.      Kita sebagai umat manusia yang beragama dan bersusila harus menjunjung dan memenuhi kewajiban, antara lain cinta kepada kebenaran, kejujuran, keikhlasan, dan keadilan. Hubungan ini harus dipupuk dan ditingkatkan terus kearah yang lebih tinggi dan lebih suci lahir bhatin. Sehingga sangat pentik untuk menerapkan Tri Hita Karana melalui Panca Yadnya pada Umat Hindu di Bali.



3.2  Saran
                Melalui makalah ini, diharapkan para mahasiswa atau pembaca memahami dan meyakini materi tentang manusia. Namun “Tak ada gading yang tak retak”, makalah kami masih jauh dari sempurna. Untuk itu, mohon kritik dan saran dari para pembaca untuk perbaikan makalah kami. Dan penulis menyarankan kepada pembaca agar lebih mendalami dan mempelajari terkait dengan materi manusia, karena dengan demikian sebagai calon guru nantinya akan mampu memenuhi kebutuhan peserta didik demi kemajuan dari peserta didik.



DAFTAR PUSTAKA
Wirawan, I Gusti Bagus. 2007. Pendidikan Agama Hindu di Perguruan Tinggi. Surabaya: Pāramita.
Darmayasa. 2012. Bhagavad-gītā (Nyanyian Tuhan). Denpasar: Yayasan Dharma Sthapanam.