Rabu, 18 Juni 2014

TUHAN YANG MAHA ESA



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Umat Hindu pada khususnya haruslah mengetahui apa yang dimaksud dengan Śrāddha dan Bhakti. Śrāddha adalah keyakinan, kepercayaan kepada Tuhan dan ajaran agama yang dianut. Sebagai umat Hindu kita harus percaya bahwa Tuhan itu ada, kita harus percaya bahwa Atman itu ada yang senantiasa menghidupi setiap makhluk hidup. Di samping itu juga kita harus percaya bahwa Hukum Karma Phala itu ada, karena Hukum Karma Phala akan tetap berlaku bagi setiap mahluk hidup baik yang percaya maupun tidak percaya. Kita juga harus percaya bahwa reinkarnasi itu ada, dan jiwa yang tidak terikat akan mencapai moksa baik di dunia ini (Jiwan mukti) maupun moksa setelah mati. Sedangkan Bhakti adalah sebuah persembahan kerja tanpa memikirkan hasil dan penyerahan diri secara total. Śrāddha dan Bhakti harus senantiasa menjiwai setiap gerak langkah umat Hindu. Dengan demikian apa yang kita kerjakan akan bermanfaat  bagi kehidupan kita baik di dunia ini maupun setelah kita mati.
1.2  Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas adapun rumusan masalah yang dapat kami ajukan sebagai berikut:
1.      Apakah yang dimaksud dengan Śrāddha dan Bhakti?
2.      Apakah yang dimaksud dengan Brahmavidyā (Teologi)?
3.      Bagaimana usaha dan sarana yang digunakan untuk memuja-Nya?
4.      Bagaimana aplikasi konsep Tuhan Yang Maha Esa dalam kehidupan sehari-hari?

1.3  Tujuan
Dari rumusan masalah di atas dapat kami ajukan tujuan sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Śrāddha dan Bhakti.
2.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Brahmavidyā (Teologi).
3.      Untuk mengetahui usaha dan sarana yang digunakan untuk memuja-Nya.
4.      Untuk mengetahui aplikasi konsep Tuhan Yang Maha Esa dalam kehidupan sehari-hari.

1.4  Manfaat
Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagi Penulis
            Pembuatan makalah ini telah memberikan berbagai pengalaman bagi penulis seperti pengalaman dalam memuja Ida Sang Hyang widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Disamping itu, penulis juga mendapat ilmu untuk memahami dan menganalisis materi yang ditulis dalam makalah ini. Penulis juga mendapatkan berbagai pengalaman mengenai teknik penulisan makalah, teknik pengutipan, dan teknik penggabungan materi dari berbagai sumber.
2.      Bagi Pembaca
            Sebagai pedoman bagi mahasiswa khususnya calon tenaga pendidikan untuk memahami materi tentang Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai masukan bagi tenaga pendidik mengenai materi tentang Tuhan Yang Maha Esa agar tidak terjadi kesalahan dalam pendidikan.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Śrāddha dan Bhakti
Kata Śrāddha yang mengandung makna yang sangat luas yakni keyakinan atau keimanan. Untuk itu dalam rangka memperluas wawasan kita tentang istilah ini, maka kami kutipkan beberapa pengertian tentang kata Śrāddha ini seperti diungkapkan dalam bukunya Nighantu (dalam Wirawan, 2007:34), kata “Śrāddha” dari akar kata Srat yang berarti kebenaran, sedangkan Sayāna memberikan interpretasi dalam pengertian berikut:
a.       Adartisaya atau bahumana artinya penghargaan yang tinggi menurut kitab Ṛgveda (dalam Wirawan, 2007:34).
b.      Visvasa artinya kayakinan atau kepercayan menurut kitab Ṛgveda (dalam Wirawan, 2007:34).
c.       Puruṣagatobhilasa artinya satu bentuk yang istimewa dari keinginan manusia menurut kitab Ṛgveda (dalam Wirawan, 2007:34).
d.      Śrāddhādhanah sebagai karma karmānuṣtānatparah adalah keyakinan di dalam dan semangat untuk mempersembahkan upacara pemujaan menurut kitab Atharvaveda (dalam Wirawan, 2007:35).
Didalam Mārkandeya purāna dilukaiskan sebagai ibu dari kamā, dan didalam Bhavisya Purāna digambarkan sebagai Putri Kardama dan istri dari Angirasa sedangkan dalam bukunya The Practical sankrit-English Dictionary karya V.S. Apte (dalam Wirawan, 2007:35) diberikan arti sebagai berikut:
 Śrāddha.
Kepercayaan, ketaatan, ajaran, keyakinan.
Kepercayaan kepada Sabda Tuhan Yang Maha Esa, keimanan agama.
Ketenangan jiwa, kesabaran dalam pikiran.
Hormat menaruh penghargan.
Kandungan ibu yang berumur lama.
Śrāddhalu.
Kepercayaan penuh keimanan.
Kerinduan, keinginan terhadap sesuatu.
            Menurut kitab Bhagavad-gītā Bab XVII (2002:661) terdapat tiga jenis Śrāddha, yaitu Śrāddha yang bersifat Sattva (kebaikan), Rajas (Kenafsuan), dan Tamas (kegelapan atau kebodohan) sesuai dengan sifat manusia. Keyakinan tiap-tiap individu tergantung pada sifat (watak)-nya. Selanjutnya menurut Atmaja (dalam Wirawan, 2007:35) telah merumuskan dalam Pa ca Śrāddha yang merupakan lima jenis keyakinan atau keimanan Hindu.
1.      Widhi Tattva atau Widhi Śrāddha, Keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan berbagai manifestasinya.
2.      Ātma Tatva atau Ātma Śrāddha artinya keimanan terhadap Ātma yang mehidupkan semua mahluk.
3.      Karmaphala Tattva atau Kharmaphala Śrāddha artinya keimanan terhadap Kebenaran hukum sebab akibat atau buah dari pada perbuatan.
4.      Samsāra atau Punarjadma Tattva/Śrāddha artinya keimanan terhadap kelahiran kembali.
5.      Moksa Tattva atau Moksha Śrāddha artinya keimanan terhadap kebebasan yang tertinggi bersatunya Ātmā dengan Brahman yaitu Tuhan Yang Maha Esa.

2.2  Brahmanvidyā (Teologi)
Bila kita mengkaji kitab suci Veda maupun praktek keagamaan di India dan di Indonesia (Bali), maka Tuhan Yang Maha Esa disebut denga berbagai nama. Dalam bahasa jawa kuno menurut Monier (dalam Wirawan, 2007:36) dinyatakan “Tan kagrahita dning manah mwang indriya” artinya tidak terjangkau oleh akal dan indriya manusia. Menurut Mahārsi Vyāsa (dalam Wirawan, 2007:36) dalam bukunya: Brahmasūtra dan Vedantasara. Menyatakan: Janmaddyasa yatah, yang oleh Svāmi Vivekānanda (dalam Wirawan, 2007:36) diterjemahkan Brahman adalah asal muasal dari alam semesta dan segala isinya (janmadi sama dengan asal, awal, penjelmaan dan sebagainya, asya sama dengan dunia alam semesta ini, yatah sama dengan dari padanya). Jadi menurut Sūtra (kalimat singkat dan padat) ini Tuhan Yang Maha Esa yang disebut Brahman ini adalah merupakan asal mula segalanya. Hal ini sesuai denga purusa Sūkta Ṛgveda dan Nārāyaṇa Upaniṣad:
Puruṣa evedaṁ sarvaṁ
Yadbūtaṁ yacca bhavyam,
Utāmṛtavseśā no
Yadannenāti rohati.
Menurut Ṛgveda (dalam Wirawan, 2007:36).
Artinya:
“Tuhan sebagai wujud kesadaran agung merupakan asal dari segala yang telah dan yang akan ada. Ia adalah raja di alam yang abadi dan juga di bumi ini yang hidup dan berkembang dengan makan.”
Nārāyaṇa evedaṁ sarvaṁ
Yadbhūtaṁ yacca bhavyam,
Niṣkalaṅko nira jano nirvikalpo
Nirākhyātaḥ śuddho deva eko
Nārāyaṇo na dvitīyo ‘sti kaścit.
Menurut Nārāyaṇa Upaniṣad (dalam Wirawan, 2007:37).
Artinya:
“Ya Tuhan Yang Maha Esa, dari engkaulah semua ini berasal dan kembali yang telah ada di alam raya ini. Hyang Widhi Maha gaib, mengatasi segala kegelapan, taktermusnahkan, maha cemerlang, maha suci (tidak ternoda) tidak terucapkan tiada duanya.”
Dalam teologi Hindu kita jumpai demikian banyak jumlah devā-devā itu. Atarvaveda menyebut jumlah devā itu banyaknya 33 Devā, menurut Macdonell (dalam Wirawan, 2007:37):
Ā nāstya tribhirekādaśai ha deverbhir yatham
Madhupeyam aśvinā, prāyustāriṣtaṁ ni ripaṁ
Si mṛkṣataṁ sedataṁ dveṣo bhavataṁ sacābhuvā
Menurut Ṛgveda (dalam Wirawan, 2007:37).
Artinya:
“Semogalah Engkau tiga kali sebelas (33) tidak pernah jatuh dari kesucian, sumber kebenaran, yang memimpin kami menuju jalan untuk memperoleh kebajikan. Semoga Tuhan Yang Maha Esa merahmati persembahan kami, menghapus kekurangan kami, melenyapkan sifat-sifat jahat kami dan semoga semuanya itu tidak membelenggu.”

2.3  Usaha dan Sarana untuk Memuja-Nya.
Usaha dan Sarana untuk memuja keberadaan Tuhan Yang Maha Esa dapat dilakukan sesuai dengan kemampuan intlektual seseorang individu untuk menghayatinya. Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan bagaikan orang buta yang meraba seekor Gajah Besar. Seperti yang dijelaskan dalam Vrespati Tattva. Ketika seorang memegang Belalainya, dia menyatakan bahwa Tuhan itu seperti ular; ketika Ia memegang kepalanya, dia menyatakan bahwa Tuhan itu seperti periuk besar; ketika Ia memegang telinganya, dia menyatakan bahwa Tuhan itu seperti kipas; ketika Ia memegang ekornya, dia menyatakan bahwa Tuhan itu seperti belut; ketika Ia memegang kakinya, maka dia menyatakan Tuhan itu seperti tiang; dan ketika Ia memegang perutnya, dia mengatakan bahwa Tuhan itu seperti tembok. Kemudian kalau diperhatikan, semua pernyataan-pernyataan orang buta itu dapat dibenarkan secara individual, tetapi secara universal bahwa kita harus melakukan dialog, bahwa Tuhan itu sesungguhnya adalah seekor gajah besar. Tetapi kemampuan individu inilah sesungguhnya yang terbatas untuk memahami keberadaan Tuhan. Maka akhirnya diperlukan sarana yang berbeda-beda, dalam tujuan yang sama, yaitu memuja kebesaran Tuhan.
Menurut Apte (dalam Wirawan, 2007:39), sarana untuk memuja-Nya bentuknya bermacam-macam, diantaranya membayangkan-Nya dibuat pratika, cihnam, laksanam, lingam, samjana, dan pratirupa. Disamping itu, secara umum dikenal pula istilah Arca, Pratima, Prativimba, Nysa, Mūrti dan lain-lain, yang mengandung bentuk makna perwujudan-Nya. Disamping itu juga dikenal adanya Tirtha dan Ksetra, yakni mata air ditepi sungai atau tepi laut. Kekuatan ini mengandung tempat itu menjadi suci, menarik, menumental yang memberi semangat tinggi kepada yang memiliki perhatian kepada orang-orang yang langsung datang untuk bersemedi.
Menurut Sudirman (dalam Wirawan, 2007:39), Sorga dikahyangan digambarkan berada dipuncak gunung Mahameru, oleh karena itu gambaran candi atau pura merupakan replica dari gunung Mahameru tersebut. Untuk memperkuat keyakinan ini. Berbagai sumber ajaran Hindu mengungkapkan tentang kahyangan, pura atau mandira seperti berikut:
Prasādham yaścchiva satyamakam
Tacchaktyantaih syadvisudhadyaṣtu tatpaih,
Saivi mūrtih khalu devalayakhetyasmad,
Dheya pratamāṁ cabhipūjya.
Menurut Ῑśanaśivagurudepapaddhati (dalam Wirawan, 2007:37).
Artinya:
“Pura dibangun untuk memohon kehadiran Sanghyang Śiva, Śaktinya dan kekuatannya/prinsip dasar dan segala manifestanya atau wujud-Nya, dari elemen hakekat yang pokok, Prthivī sampai kepada śakti-Nya. Wujud kongkrit sang Hyang Śiva maerupakan Stana Sang Hyang Widhi. Hendaknya seseorang melakukan perenungan dan memuja-Nya.”

2.4 Implementasi Konsep Tuhan Yang Maha Esa
Śrāddha dan bhakti merupakan dua hal yang sangat erat kaitanya. Dalam kaitanya Śrāddha merupakan kepercayaan dan bhakti adalah pengabdian atau pengorbanan. sehingga umat hindu yang percaya akan Tuhan melakukan pengabdian ataupun pengorbanan guna menunjukan rasa bhaktinya terhadap Tuhan. Namun dalam melakukan pengabdian dan pengorbanan tidaklah sama pada setiap individu, ambil saja contoh pengabdian yang dilakukan oleh seorang petani dan pedagang. petani melakukan pengabdianya atau dengan istilah Bali “Meyasa Kerthi dengan menanam padi ataupun tanaman palawija lainnya. Seorang petani melakukan pengabdianya kepada Tuhan dengan menyediakan bahan makanan dan berusaha memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Lain halnya dengan pedagang, seorang pedagang melakukan pengabdian dengan menjual barang dagangan kepada orang lain agar kebutuhan orang lain dapat terpenuhi. Lalu selain cara pedagang dan petani yang berbeda dalam mengabdi, kedua profesi ini juga menyembah Dewa yang berbeda.
Umat Hindu yang percaya akan satu Tuhan namun memuja-Nya dalam banyak manifestasi-Nya. hal ini menunjukan pemikiran lain bahwa umat Hindu memuja atau memiliki Tuhan lebih dari satu. Petani yang sehari-harinya bertani di sawah memuja Dewi Sri yaitu dewi kesuburan dengan tujuan segala tanaman yang ditanam oleh si petani tumbuh subur dan menghasilkan panen yang berlimpah. Lain lagi si pedagang yang melakukan “Yasa Kerthi di pasar, si pedagan memuja Dewa Rambut Sedana guna memohon agar segala barang daganganya laku terjual. Selain dua Dewa yang disebutkan di atas masih banyak lagi Dewa yang dipuja sesuai profesi. Contoh lainya adalah profesi seorang pelajar, seorang pelajar yang mempunyai kewajiban menuntut ilmu memuja Dewi Saraswati sebagai Dewi ilmu pengetahuan. Pemujaan yang dilakukan oleh Umat Hindu kepada Dewa yang lebih dari satu memberi anggapan  bahwa Umat Hindu memiliki lebih dari satu Tuhan berbeda dengan Agama lain seperti contoh Agama Islam, Kristen Katolik, Kristen Protistan, Budha, dan Kongucu, yang hanya memuja dan percaya akan satu tuhan.
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, umat Hindu memiliki keyakinan atau kepercayaan dengan satu Tuhan. Namun dengan banyaknya Dewa yang dipuja Umat Hindu, Umat Hindu tetap percaya akan satu Tuhan yaitu istilah Balinya “Ida Sang Hyang Widhi Wasa”. Dalam Bhagavad-gītā Sri Kresna dalam wejanganya kepada sang Arjuna putra Kunti dalam cerita Mahabrata berkata bahwa beliau (Sri Kresna) sebagai Avātara Wisnu akan datang atau mendengar doa umatnya sesuai bagaimana umatnya ingin beliau (Sri Kresna) hadir, baik sebagai sahabat ataupun kekasih. Hal ini berarti Umat Hindu memang memuja satu Tuhan namun dalam pemujaanya Umat Hindu mengharapkan Tuhan hadir dalam menifestasi yang Umat Hindu inginkan.  Jika umatnya menginginkan kesuburan yang diperlukan oleh petani Beliau hadir sebagai Dewi Kesuburan yaitu Dewi Sri, demikian juga jika umatnya mendambakan barang dagangan yang laku terjual maka beliau hadir sebagai Dewa Rambut Sedana. Penjelasan di atas dapat dianalogikan dalam kejadian sehari-hari. Sebagai contoh yaitu seorang bapak yang memiliki satu istri dan satu anak, dan berprofesi sebagai Guru. Anggap saja bapak ini bernama Pak Sudharma, si anak memanggil Pak Sudharma dengan panggilan Bapak, si istri memanggil Pak Sudharma dengan panggilan Dharma, dan karena Pak Sudharma berprofesi sebagai Guru maka siswanya memanggil dengan panggilan Pak Guru. Satu orang yang memiliki tiga panggilan yang berbeda dan hadir juga dengan tiga predikat yang berbeda. Saat si anak memanggil Bapak, maka Pak Sudharma hadir sebagai seorang Bapak untuk anaknya. Saat si istri memanggil Dharma, maka Pak Sudharma hadir sebagai seorang suami bagi istrinya. Dan ketika si murid memanggil Pak Guru, maka Pak Sudharma hadir sebagai seorang Guru bagi muridnya. Sesuai uraian di atas Pak Sudharma hanya satu orang namun hadir dalam tiga peran sesuai lingkungannya dan sesuai individu yang meminta ia hadir. Kembali lagi pada persoalan Umat Hindu yang memuja banyak Dewa namun percaya dengan satu Tuhan. jadi memang benar bahwa Umat Hindu memuja satu Tuhan namun beliau yang dipuja hadir dengan manifestasi yang diinginkan oleh umatnya.
Dalam kepercayaan Agama Hindu, konsep Bhakti dalam melakukan pengabdian dan pengorbanan juga dapat dilakukan dengan konsep Catur Marga Yoga. Catur Marga Yoga memiliki arti yaitu empat jalan untuk mendekatkan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhna Yang Maha Esa). Catur Marga Yoga terdiri dari empat bagian yaitu Jnana Marga Yoga, Bhakti Marga Yoga, Karma Marga Yoga, dan Raja Marga Yoga. Keempat bagian dari Catur Marga Yoga akan diuraikan dan dibahas sebagai berikut:
1.      Jnana Marga Yoga.
Jnana artinya pengetahuan, sedangkan Jnana Marga Yoga dapat diartikan sebagai cara atau jalan untuk mendekatkan diri kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa melalui jalan mempelajari ilmu-ilmu keagamaan yang merupakan kebenaran yang utama. Dalam hal ini, pengaplikasian kita sebagai Mahasiswa, kita berkewajiban untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya, baik itu ilmu yang sesuai dengan bidang kita, maupun ilmu sosial dan spiritual yang harus kita pelajari. Ilmu Fisika, maupun ilmu Agama tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Ambil saja contoh mengenai atom, dalam ilmu sains atom terdiri dari electron, proton dan neutron. Sebuah atom dengan inti yang dikelilingi oleh elektron memiliki 99,9% ruang kosong dan atom adalah penyusun terkecil dari Jagat Raya. Dalam Agama Hindu, Sang Hyang Widhi Wasa juga meiliki sebutan Sang Hyang Embang yaitu beliau yang mengisi ruang kosong sehingga memang benar jika dikatakan bahwa Tuhan memenuhi seluruh Jagat Raya karena beliaulah yang mengisi semua ruang kosong.  Bahkan dalam Weda, juga membahas tentang ilmu-ilmu alam, termasuk Fisika, Astronomi atau Perbintangan. Bahkan Albert Einstein sekalipun menyatakan bahwa, “Ilmu tanpa Agama buta, Agama tanpa ilmu lumpuh”. Dari pernyataan tersebut dapat kita simpulkan betapa pentingnya hubungan antara ilmu-ilmu eksakta dengan ilmu spiritual, bahkan seorang ilmuan Fisika yang dulunya dikenal Atheis-pun mengakui pentingnya mempelajari ilmu keagamaan.
2.      Bhakti Marga Yoga
Kata Bhakti berarti cinta kasih. Kata bhakti ini biasa digunakan untuk menunjukan kasih sayang pada manifestasi yang kedudukannya lebih tinggi dari manusia.  Contohnya ditujukan kepada Tuhan, leluhur, orang tua dan lain-lain. Bhakti Marga Yoga berarti cara mendekatkan diri kepada Tuhan melalui jalan melakukan sesuatu atas dasar perasaan. Sebagai seorang masyarakat akademik, tentu kita tidak asing dengan Hari Raya Saraswati. Hari Raya Saraswati ini merupkan contoh pengamalan dari Bhakti Marga Yoga.
3.      Karma Marga Yoga
Karma artinya perbuatan, sedangkan Karma Marga Yoga artinya cara mendekatkan diri kehadapan Tuhan melalui jalan perbuatan. Setelah kita mendapatkan ilmu yang sudah kita terima sejak lahir, ada kalanya kita harus menerapkan segala ilmu dan keterampilan yang kita miliki untuk kepentingan bersama. Baik itu soft skill dan hard skill harus dipadupadankan penerapannya di masyarakat untuk kepentingan masyarakat.
4.      Raja Marga Yoga
Raja Marga Yoga bermakna cara mendekatkan diri kehadapan Tuhan melalui jalan pengendalian diri. Dalam menghadapi masa-masa menuntut ilmu sebagai seorang Brahmacari tentu kita melalui banyak sekali cobaan. Cobaan itu juga dapat berupa godaan-godaan yang dapat mengganggu atau merusak masa depan kita. Maka dari itu, kita berkewajiban menjaga diri dan melakukan pengendalian diri terhadap hal-hal yang dapat mengganggu kelangsungan hidup kita, termasuk mengganggu suasana dalam menuntut ilmu, karena menuntut ilmu merupakan “Swadharmaning Sisia” atau kewajiban seorang pelajar demi masa depannya.
            Pengabdian dan Pengorbanan yang dilandasi oleh rasa bhakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang dilakukan sesuai dengan profesi yaitu sebagai pelajar khususnya mahasiswa. Sebagai seorang pelajar kita dapat berbhakti atau memuja tuhan dengan salah satu cara dalam Catur Marga Yoga yaitu Jnana Marga Yoga. Jadi sebagai pelajar berkewajiban menuntut ilmu untuk mengabdikan serta berbhakti diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Selain dengan belajar, seorang masyarakat akademik juga berkewajiban melakukan pemujaan kepada manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam ilmu pengetahuan yang disimbolkan dengan Dewi Saraswati yaitu seorang Dewi yang memiliki paras yang cantik, sebagaimana menggambarkan indahnya ilmu pengetahuan bagi yang berkewajiban menuntut ilmu pengetahuan.

BAB III
PENUTUP
3.1    Simpulan
Dari uraian data di atas kami dapat simpulkan bahwasannya:
1.      Śrāddha yang mengandung makna yang sangat luas yakni keyakinan atau keimanan, sedangkan Bhakti adalah sebuah persembahan kerja tanpa memikirkan hasil dan penyerahan diri secara total.
2.      Brahman adalah asal muasal dari alam semesta dan segala isinya (janmadi sama dengan asal, awal, penjelmaan dan sebagainya; asya sama dengan dunia alam semesta ini; dan yatah sama dengan dari padanya).
3.      Usaha dan Sarana untuk memuja keberadaan Tuhan Yang Maha Esa dapat dilakukan sesuai dengan kemampuan intlektual seseorang individu untuk menghayatinya.
4.      Sebagai seorang pelajar wajib melakukan pengabdian pada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan Jnana Marga Yoga, yaitu dengan cara menuntut ilmu. selain itu seorang pelajar juga wajib melakukan pemujaan kepada manifestasi Tuhan Yang Maha Esa yaitu Dewi Saraswati sebagai Dewi Ilmu Pengetahuan.
3.2  Saran
                Melalui makalah ini, diharapkan para mahasiswa atau pembaca memahami dan meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Namun “Tak ada gading yang tak retak”, makalah kami masih jauh dari sempurna. Untuk itu, mohon kritik dan saran dari para pembaca untuk perbaikan makalah kami. Dan penulis menyarankan kepada pembaca agar lebih mendalami dan mempelajari terkait dengan materi Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan demikian sebagai calon guru nantinya akan mampu memenuhi kebutuhan peserta didik demi kemajuan dari peserta didik.


DAFTAR PUSTAKA
Wirawan, I Gusti Bagus. 2007. Pendidikan Agama Hindu di Perguruan Tinggi. Surabaya: Pāramita.
Darmayasa. 2012. Bhagavad-gītā (Nyanyian Tuhan). Denpasar: Yayasan Dharma Sthapanam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar