BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Umat Hindu pada khususnya haruslah mengetahui apa yang dimaksud dengan
Śrāddha dan Bhakti. Śrāddha adalah keyakinan, kepercayaan
kepada Tuhan dan ajaran agama yang dianut. Sebagai umat Hindu kita harus
percaya bahwa Tuhan itu ada, kita harus percaya bahwa Atman itu ada yang
senantiasa menghidupi setiap makhluk hidup. Di samping itu juga kita harus percaya
bahwa Hukum
Karma Phala itu ada, karena Hukum Karma Phala akan tetap berlaku bagi setiap
mahluk hidup baik yang
percaya maupun tidak percaya. Kita juga harus percaya bahwa reinkarnasi itu
ada, dan jiwa yang tidak terikat akan mencapai moksa baik di dunia ini (Jiwan
mukti) maupun moksa setelah mati. Sedangkan Bhakti adalah sebuah persembahan
kerja tanpa memikirkan hasil dan penyerahan diri secara total. Śrāddha dan Bhakti harus senantiasa menjiwai
setiap gerak langkah umat Hindu. Dengan demikian apa yang kita kerjakan akan
bermanfaat bagi kehidupan kita baik di dunia ini maupun setelah kita
mati.
1.2 Rumusan
Masalah
Dari uraian latar belakang di atas adapun rumusan masalah
yang dapat kami ajukan sebagai berikut:
1.
Apakah
yang dimaksud dengan Śrāddha dan Bhakti?
2.
Apakah
yang dimaksud dengan Brahmavidyā (Teologi)?
3.
Bagaimana
usaha dan sarana yang digunakan untuk memuja-Nya?
4.
Bagaimana
aplikasi konsep Tuhan Yang Maha Esa dalam kehidupan sehari-hari?
1.3 Tujuan
Dari rumusan masalah di atas dapat kami ajukan tujuan
sebagai berikut:
1.
Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan Śrāddha dan Bhakti.
2.
Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan Brahmavidyā (Teologi).
3.
Untuk
mengetahui usaha dan sarana yang digunakan untuk memuja-Nya.
4.
Untuk
mengetahui aplikasi konsep Tuhan Yang Maha Esa dalam kehidupan sehari-hari.
1.4 Manfaat
Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi Penulis
Pembuatan makalah ini telah
memberikan berbagai pengalaman bagi penulis seperti pengalaman dalam memuja Ida Sang
Hyang widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Disamping itu, penulis juga mendapat ilmu
untuk memahami dan menganalisis materi yang ditulis dalam makalah ini. Penulis juga mendapatkan berbagai pengalaman
mengenai teknik penulisan makalah, teknik pengutipan, dan teknik penggabungan
materi dari berbagai sumber.
2.
Bagi
Pembaca
Sebagai
pedoman bagi mahasiswa khususnya calon tenaga pendidikan untuk memahami materi tentang Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai masukan bagi tenaga
pendidik mengenai materi
tentang Tuhan Yang Maha
Esa agar tidak terjadi kesalahan dalam
pendidikan.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Śrāddha dan Bhakti
Kata Śrāddha yang mengandung
makna yang sangat luas yakni keyakinan atau keimanan. Untuk itu dalam rangka
memperluas wawasan kita tentang istilah ini, maka kami kutipkan beberapa
pengertian tentang kata Śrāddha ini seperti diungkapkan dalam bukunya Nighantu
(dalam Wirawan, 2007:34), kata “Śrāddha” dari akar kata Srat yang berarti
kebenaran, sedangkan Sayāna memberikan interpretasi dalam pengertian berikut:
a.
Adartisaya
atau bahumana artinya penghargaan yang tinggi menurut kitab Ṛgveda (dalam
Wirawan, 2007:34).
b.
Visvasa
artinya kayakinan atau kepercayan menurut kitab Ṛgveda (dalam Wirawan, 2007:34).
c.
Puruṣagatobhilasa
artinya satu bentuk yang istimewa dari keinginan manusia menurut kitab Ṛgveda
(dalam Wirawan, 2007:34).
d.
Śrāddhādhanah
sebagai karma karmānuṣtānatparah adalah keyakinan di dalam dan semangat untuk
mempersembahkan upacara pemujaan menurut kitab Atharvaveda (dalam Wirawan,
2007:35).
Didalam Mārkandeya purāna
dilukaiskan sebagai ibu dari kamā, dan didalam Bhavisya Purāna digambarkan
sebagai Putri Kardama dan istri dari Angirasa sedangkan dalam bukunya The
Practical sankrit-English Dictionary karya V.S. Apte (dalam Wirawan, 2007:35)
diberikan arti sebagai berikut:
Śrāddha.
Kepercayaan, ketaatan, ajaran, keyakinan.
Kepercayaan kepada Sabda Tuhan Yang Maha Esa, keimanan agama.
Ketenangan jiwa, kesabaran dalam pikiran.
Hormat menaruh penghargan.
Kandungan ibu yang berumur lama.
Śrāddhalu.
Kepercayaan penuh keimanan.
Kerinduan, keinginan terhadap sesuatu.
Menurut
kitab Bhagavad-gītā Bab XVII (2002:661) terdapat tiga jenis Śrāddha, yaitu
Śrāddha yang bersifat Sattva (kebaikan), Rajas (Kenafsuan), dan Tamas
(kegelapan atau kebodohan) sesuai dengan sifat manusia. Keyakinan tiap-tiap
individu tergantung pada sifat (watak)-nya. Selanjutnya menurut Atmaja (dalam
Wirawan, 2007:35) telah merumuskan dalam Pa
ca Śrāddha yang merupakan lima jenis keyakinan atau keimanan
Hindu.
1.
Widhi
Tattva atau Widhi Śrāddha, Keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan
berbagai manifestasinya.
2.
Ātma
Tatva atau Ātma Śrāddha artinya keimanan terhadap Ātma yang mehidupkan semua
mahluk.
3.
Karmaphala
Tattva atau Kharmaphala Śrāddha artinya keimanan terhadap Kebenaran hukum sebab
akibat atau buah dari pada perbuatan.
4.
Samsāra
atau Punarjadma Tattva/Śrāddha artinya keimanan terhadap kelahiran kembali.
5.
Moksa
Tattva atau Moksha Śrāddha artinya keimanan terhadap kebebasan yang tertinggi
bersatunya Ātmā dengan Brahman yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
2.2 Brahmanvidyā
(Teologi)
Bila kita mengkaji kitab
suci Veda maupun praktek keagamaan di India dan di Indonesia (Bali), maka Tuhan
Yang Maha Esa disebut denga berbagai nama. Dalam bahasa jawa kuno menurut
Monier (dalam Wirawan, 2007:36) dinyatakan “Tan kagrahita dning manah mwang
indriya” artinya tidak terjangkau oleh akal dan indriya manusia. Menurut
Mahārsi Vyāsa (dalam Wirawan, 2007:36) dalam bukunya: Brahmasūtra dan
Vedantasara. Menyatakan: Janmaddyasa yatah, yang oleh Svāmi Vivekānanda (dalam
Wirawan, 2007:36) diterjemahkan Brahman adalah asal muasal dari alam semesta
dan segala isinya (janmadi sama dengan asal, awal, penjelmaan dan sebagainya,
asya sama dengan dunia alam semesta ini, yatah sama dengan dari padanya). Jadi
menurut Sūtra (kalimat singkat dan padat) ini Tuhan Yang Maha Esa yang disebut
Brahman ini adalah merupakan asal mula segalanya. Hal ini sesuai denga purusa
Sūkta Ṛgveda dan Nārāyaṇa Upaniṣad:
Puruṣa evedaṁ sarvaṁ
Yadbūtaṁ yacca bhavyam,
Utāmṛtavseśā no
Yadannenāti rohati.
Menurut Ṛgveda
(dalam Wirawan, 2007:36).
Artinya:
“Tuhan sebagai wujud
kesadaran agung merupakan asal dari segala yang telah dan yang akan ada. Ia
adalah raja di alam yang abadi dan juga di bumi ini yang hidup dan berkembang
dengan makan.”
Nārāyaṇa evedaṁ sarvaṁ
Yadbhūtaṁ yacca bhavyam,
Niṣkalaṅko nira
jano nirvikalpo
Nirākhyātaḥ
śuddho deva eko
Nārāyaṇo na dvitīyo ‘sti kaścit.
Menurut Nārāyaṇa Upaniṣad (dalam Wirawan, 2007:37).
Artinya:
“Ya Tuhan Yang Maha Esa, dari engkaulah
semua ini berasal dan kembali yang telah ada di alam raya ini. Hyang Widhi Maha
gaib, mengatasi segala kegelapan, taktermusnahkan, maha cemerlang, maha suci
(tidak ternoda) tidak terucapkan tiada duanya.”
Dalam teologi Hindu kita jumpai demikian
banyak jumlah devā-devā itu. Atarvaveda menyebut jumlah devā itu banyaknya 33
Devā, menurut Macdonell (dalam
Wirawan, 2007:37):
Ā nāstya tribhirekādaśai ha deverbhir yatham
Madhupeyam aśvinā, prāyustāriṣtaṁ ni ripaṁ
Si mṛkṣataṁ sedataṁ dveṣo bhavataṁ sacābhuvā
Menurut Ṛgveda (dalam
Wirawan, 2007:37).
Artinya:
“Semogalah Engkau tiga kali sebelas (33) tidak pernah
jatuh dari kesucian, sumber kebenaran, yang memimpin kami menuju jalan untuk
memperoleh kebajikan. Semoga Tuhan Yang Maha Esa merahmati persembahan kami,
menghapus kekurangan kami, melenyapkan sifat-sifat jahat kami dan semoga
semuanya itu tidak membelenggu.”
2.3 Usaha
dan Sarana untuk Memuja-Nya.
Usaha dan Sarana untuk
memuja keberadaan Tuhan Yang Maha Esa dapat dilakukan sesuai dengan kemampuan
intlektual seseorang individu untuk menghayatinya. Sebagai ilustrasi dapat
dikemukakan bagaikan orang buta yang meraba seekor Gajah Besar. Seperti yang
dijelaskan dalam Vrespati Tattva. Ketika seorang memegang Belalainya, dia
menyatakan bahwa Tuhan itu seperti ular; ketika Ia memegang kepalanya, dia
menyatakan bahwa Tuhan itu seperti periuk besar; ketika Ia memegang telinganya,
dia menyatakan bahwa Tuhan itu seperti kipas; ketika Ia memegang ekornya, dia
menyatakan bahwa Tuhan itu seperti belut; ketika Ia memegang kakinya, maka dia
menyatakan Tuhan itu seperti tiang; dan ketika Ia memegang perutnya, dia
mengatakan bahwa Tuhan itu seperti tembok. Kemudian kalau diperhatikan, semua
pernyataan-pernyataan orang buta itu dapat dibenarkan secara individual, tetapi
secara universal bahwa kita harus melakukan dialog, bahwa Tuhan itu
sesungguhnya adalah seekor gajah besar. Tetapi kemampuan individu inilah
sesungguhnya yang terbatas untuk memahami keberadaan Tuhan. Maka akhirnya diperlukan
sarana yang berbeda-beda, dalam tujuan yang sama, yaitu memuja kebesaran Tuhan.
Menurut Apte (dalam Wirawan,
2007:39), sarana untuk memuja-Nya bentuknya bermacam-macam, diantaranya membayangkan-Nya
dibuat pratika, cihnam, laksanam, lingam, samjana, dan pratirupa. Disamping
itu, secara umum dikenal pula istilah Arca, Pratima, Prativimba, Nysa, Mūrti
dan lain-lain, yang mengandung bentuk makna perwujudan-Nya. Disamping itu juga
dikenal adanya Tirtha dan Ksetra, yakni mata air ditepi sungai atau tepi laut.
Kekuatan ini mengandung tempat itu menjadi suci, menarik, menumental yang
memberi semangat tinggi kepada yang memiliki perhatian kepada orang-orang yang
langsung datang untuk bersemedi.
Menurut Sudirman (dalam
Wirawan, 2007:39), Sorga dikahyangan digambarkan berada dipuncak gunung
Mahameru, oleh karena itu gambaran candi atau pura merupakan replica dari
gunung Mahameru tersebut. Untuk memperkuat keyakinan ini. Berbagai sumber
ajaran Hindu mengungkapkan tentang kahyangan, pura atau mandira seperti berikut:
Prasādham yaścchiva satyamakam
Tacchaktyantaih syadvisudhadyaṣtu tatpaih,
Saivi mūrtih khalu devalayakhetyasmad,
Dheya pratamāṁ cabhipūjya.
Menurut Ῑśanaśivagurudepapaddhati (dalam Wirawan, 2007:37).
Artinya:
“Pura dibangun untuk memohon kehadiran Sanghyang Śiva,
Śaktinya dan kekuatannya/prinsip dasar dan segala manifestanya atau wujud-Nya,
dari elemen hakekat yang pokok, Prthivī sampai kepada śakti-Nya. Wujud kongkrit
sang Hyang Śiva maerupakan Stana Sang Hyang Widhi. Hendaknya seseorang melakukan
perenungan dan memuja-Nya.”
2.4 Implementasi
Konsep Tuhan Yang Maha Esa
Śrāddha dan bhakti merupakan dua hal
yang sangat erat kaitanya. Dalam kaitanya Śrāddha merupakan kepercayaan dan bhakti
adalah pengabdian atau pengorbanan. sehingga umat hindu yang percaya akan Tuhan melakukan pengabdian ataupun
pengorbanan guna menunjukan rasa bhaktinya terhadap Tuhan. Namun dalam melakukan
pengabdian dan pengorbanan tidaklah sama pada setiap individu, ambil saja
contoh pengabdian yang dilakukan oleh seorang petani dan pedagang. petani
melakukan pengabdianya atau dengan istilah Bali “Meyasa Kerthi” dengan menanam padi ataupun
tanaman palawija lainnya. Seorang
petani melakukan pengabdianya kepada Tuhan
dengan menyediakan bahan makanan dan berusaha memenuhi kebutuhan pangan
masyarakat. Lain
halnya dengan pedagang, seorang pedagang melakukan pengabdian dengan menjual
barang dagangan kepada
orang lain agar kebutuhan orang lain dapat terpenuhi. Lalu selain cara pedagang dan petani
yang berbeda dalam mengabdi, kedua profesi ini juga menyembah Dewa yang berbeda.
Umat
Hindu
yang percaya akan satu Tuhan
namun memuja-Nya
dalam banyak manifestasi-Nya.
hal ini menunjukan pemikiran lain bahwa umat Hindu memuja atau memiliki Tuhan lebih dari satu. Petani yang
sehari-harinya bertani di
sawah
memuja Dewi Sri yaitu dewi kesuburan dengan tujuan segala tanaman yang ditanam
oleh si petani tumbuh subur dan menghasilkan panen yang berlimpah. Lain lagi si pedagang yang melakukan
“Yasa
Kerthi” di pasar, si pedagan memuja Dewa
Rambut Sedana guna memohon agar segala barang daganganya laku terjual. Selain dua Dewa yang disebutkan di atas masih banyak lagi Dewa yang dipuja sesuai profesi. Contoh lainya adalah profesi seorang
pelajar, seorang pelajar yang mempunyai kewajiban menuntut ilmu memuja Dewi
Saraswati sebagai Dewi ilmu pengetahuan. Pemujaan yang dilakukan oleh Umat Hindu kepada Dewa yang lebih dari satu memberi
anggapan bahwa Umat Hindu memiliki lebih dari satu Tuhan berbeda dengan Agama lain seperti contoh Agama
Islam, Kristen Katolik, Kristen Protistan, Budha, dan Kongucu, yang hanya memuja dan
percaya akan satu tuhan.
Seperti
yang telah diungkapkan sebelumnya, umat Hindu memiliki keyakinan atau
kepercayaan dengan satu Tuhan.
Namun dengan banyaknya Dewa
yang dipuja Umat
Hindu, Umat Hindu tetap percaya akan satu Tuhan yaitu istilah Balinya “Ida Sang Hyang Widhi Wasa”.
Dalam Bhagavad-gītā Sri Kresna dalam wejanganya kepada sang Arjuna putra Kunti dalam cerita Mahabrata berkata bahwa
beliau (Sri
Kresna)
sebagai Avātara
Wisnu
akan datang atau mendengar doa umatnya sesuai bagaimana umatnya ingin beliau (Sri Kresna) hadir, baik sebagai sahabat
ataupun kekasih. Hal ini berarti Umat
Hindu
memang memuja satu Tuhan namun dalam pemujaanya Umat Hindu mengharapkan Tuhan hadir dalam menifestasi yang Umat Hindu inginkan. Jika
umatnya menginginkan kesuburan yang diperlukan oleh petani Beliau hadir sebagai
Dewi
Kesuburan
yaitu Dewi
Sri,
demikian juga jika umatnya mendambakan barang dagangan yang laku terjual maka beliau hadir
sebagai Dewa Rambut Sedana. Penjelasan di
atas
dapat dianalogikan dalam kejadian sehari-hari. Sebagai contoh yaitu seorang bapak yang memiliki satu istri dan
satu anak, dan berprofesi sebagai Guru.
Anggap
saja bapak ini bernama Pak Sudharma, si anak memanggil Pak Sudharma dengan
panggilan Bapak, si istri memanggil Pak Sudharma dengan panggilan Dharma, dan
karena Pak Sudharma berprofesi sebagai Guru maka siswanya memanggil dengan
panggilan Pak Guru. Satu orang yang memiliki tiga panggilan yang berbeda dan
hadir juga dengan tiga predikat yang berbeda. Saat si anak memanggil Bapak, maka Pak Sudharma hadir
sebagai seorang Bapak untuk anaknya. Saat si istri memanggil Dharma, maka Pak
Sudharma hadir sebagai seorang suami bagi istrinya. Dan ketika si murid memanggil Pak
Guru, maka Pak Sudharma hadir sebagai seorang Guru bagi muridnya. Sesuai uraian di atas Pak Sudharma hanya satu orang
namun hadir dalam tiga peran sesuai lingkungannya dan sesuai individu yang
meminta ia hadir. Kembali lagi pada persoalan Umat Hindu yang memuja banyak Dewa namun percaya dengan satu Tuhan. jadi memang benar bahwa Umat Hindu memuja satu Tuhan namun beliau yang dipuja hadir
dengan manifestasi yang diinginkan oleh umatnya.
Dalam
kepercayaan Agama Hindu,
konsep Bhakti
dalam melakukan pengabdian dan pengorbanan juga dapat dilakukan dengan konsep
Catur Marga Yoga. Catur Marga Yoga memiliki arti yaitu empat jalan untuk
mendekatkan diri kepada
Ida Sang Hyang Widhi Wasa
(Tuhna Yang Maha Esa). Catur Marga Yoga terdiri dari empat
bagian yaitu Jnana Marga Yoga, Bhakti Marga Yoga, Karma Marga Yoga, dan Raja Marga Yoga. Keempat bagian dari Catur Marga Yoga akan diuraikan
dan dibahas sebagai berikut:
1.
Jnana Marga
Yoga.
Jnana artinya pengetahuan, sedangkan Jnana Marga
Yoga dapat diartikan sebagai cara atau jalan untuk mendekatkan diri kehadapan
Ida Sang Hyang Widhi Wasa melalui jalan mempelajari ilmu-ilmu keagamaan yang
merupakan kebenaran yang utama. Dalam hal ini, pengaplikasian kita sebagai Mahasiswa, kita berkewajiban untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya, baik itu ilmu yang sesuai dengan bidang kita,
maupun ilmu sosial dan spiritual yang harus kita
pelajari. Ilmu Fisika, maupun ilmu Agama tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Ambil saja
contoh mengenai atom, dalam ilmu sains atom terdiri dari electron, proton dan
neutron. Sebuah atom dengan inti yang dikelilingi oleh elektron memiliki 99,9%
ruang kosong dan atom adalah penyusun terkecil dari Jagat Raya. Dalam Agama
Hindu, Sang Hyang Widhi Wasa juga meiliki sebutan Sang Hyang Embang yaitu
beliau yang mengisi ruang kosong sehingga memang benar jika dikatakan bahwa Tuhan
memenuhi seluruh Jagat Raya karena beliaulah yang mengisi semua ruang kosong. Bahkan dalam Weda, juga membahas tentang ilmu-ilmu alam, termasuk
Fisika, Astronomi atau Perbintangan. Bahkan Albert
Einstein sekalipun menyatakan bahwa, “Ilmu tanpa Agama buta, Agama tanpa ilmu lumpuh”. Dari pernyataan
tersebut dapat kita simpulkan betapa pentingnya hubungan antara ilmu-ilmu
eksakta dengan ilmu spiritual, bahkan seorang ilmuan Fisika yang dulunya
dikenal Atheis-pun mengakui pentingnya mempelajari ilmu keagamaan.
2.
Bhakti Marga
Yoga
Kata Bhakti berarti cinta kasih. Kata bhakti ini
biasa digunakan untuk menunjukan kasih sayang pada manifestasi yang kedudukannya lebih tinggi dari manusia. Contohnya ditujukan kepada Tuhan, leluhur,
orang tua dan lain-lain. Bhakti Marga Yoga berarti cara mendekatkan diri kepada
Tuhan melalui jalan melakukan sesuatu atas dasar perasaan. Sebagai seorang
masyarakat akademik, tentu kita tidak asing dengan Hari Raya Saraswati. Hari Raya Saraswati ini merupkan contoh pengamalan dari Bhakti Marga Yoga.
3.
Karma Marga Yoga
Karma artinya perbuatan, sedangkan Karma Marga Yoga
artinya cara mendekatkan diri kehadapan Tuhan melalui jalan perbuatan. Setelah
kita mendapatkan ilmu yang sudah kita terima sejak lahir, ada kalanya kita
harus menerapkan segala ilmu dan keterampilan yang kita miliki untuk
kepentingan bersama. Baik itu soft skill
dan hard skill harus dipadupadankan
penerapannya di masyarakat untuk kepentingan masyarakat.
4.
Raja Marga Yoga
Raja Marga Yoga
bermakna cara mendekatkan diri kehadapan Tuhan melalui jalan pengendalian diri.
Dalam menghadapi masa-masa menuntut ilmu sebagai seorang Brahmacari tentu kita
melalui banyak sekali cobaan. Cobaan itu juga dapat berupa godaan-godaan yang
dapat mengganggu atau merusak masa depan kita.
Maka dari itu, kita berkewajiban menjaga diri
dan melakukan pengendalian diri terhadap hal-hal yang dapat mengganggu
kelangsungan hidup kita, termasuk mengganggu suasana dalam menuntut ilmu, karena menuntut ilmu
merupakan “Swadharmaning Sisia” atau kewajiban
seorang pelajar demi masa depannya.
Pengabdian
dan Pengorbanan yang dilandasi oleh rasa bhakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi
Wasa yang dilakukan sesuai dengan profesi yaitu sebagai pelajar khususnya
mahasiswa. Sebagai seorang pelajar kita dapat
berbhakti atau memuja tuhan dengan salah satu cara dalam Catur Marga Yoga yaitu
Jnana Marga Yoga. Jadi sebagai pelajar berkewajiban menuntut ilmu untuk
mengabdikan serta berbhakti diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Selain
dengan belajar, seorang masyarakat akademik juga berkewajiban melakukan pemujaan
kepada manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam ilmu pengetahuan yang disimbolkan dengan Dewi Saraswati yaitu
seorang Dewi yang memiliki paras
yang cantik, sebagaimana menggambarkan indahnya ilmu pengetahuan bagi yang
berkewajiban menuntut ilmu pengetahuan.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Dari uraian data di atas
kami dapat simpulkan bahwasannya:
1.
Śrāddha
yang mengandung makna yang sangat luas yakni keyakinan atau keimanan, sedangkan Bhakti adalah sebuah persembahan
kerja tanpa memikirkan hasil dan penyerahan diri secara total.
2.
Brahman
adalah asal muasal dari alam semesta dan segala isinya (janmadi sama dengan
asal, awal, penjelmaan dan sebagainya; asya sama dengan dunia alam semesta ini;
dan yatah sama dengan dari padanya).
3.
Usaha
dan Sarana untuk memuja keberadaan Tuhan Yang Maha Esa dapat dilakukan sesuai
dengan kemampuan intlektual seseorang individu untuk menghayatinya.
4.
Sebagai
seorang pelajar wajib melakukan pengabdian pada Tuhan Yang Maha Esa sesuai
dengan Jnana Marga Yoga, yaitu dengan cara menuntut ilmu. selain itu seorang
pelajar juga wajib melakukan pemujaan kepada manifestasi Tuhan Yang Maha Esa
yaitu Dewi Saraswati sebagai Dewi Ilmu Pengetahuan.
3.2 Saran
Melalui makalah ini, diharapkan para mahasiswa atau pembaca memahami dan meyakini adanya Tuhan
Yang Maha Esa. Namun “Tak ada gading yang
tak retak”, makalah kami masih jauh dari sempurna. Untuk itu, mohon kritik dan saran
dari para pembaca untuk perbaikan makalah kami. Dan penulis
menyarankan kepada pembaca agar lebih mendalami dan mempelajari terkait dengan
materi Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan demikian sebagai calon
guru nantinya akan mampu memenuhi kebutuhan peserta didik demi kemajuan dari
peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Wirawan, I Gusti Bagus.
2007. Pendidikan Agama Hindu di Perguruan
Tinggi. Surabaya: Pāramita.
Darmayasa. 2012. Bhagavad-gītā (Nyanyian Tuhan).
Denpasar: Yayasan Dharma Sthapanam.
Untuk hasil yang lain bisa di cari di bawah ini:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar